Jumat, 29 Januari 2010

Paradigma Baru Pemerintahan

(Sebuah Alternatif Pengembangan Kapasitas Pemda)

PERUBAHAN pranata dalam sistem pemerintahan daerah merupakan sebuah tuntutan proses pengembangan manajemen pemerintahan yang berkelanjutan, seiring dengan dinamika perubahan politik lokal dan kesadaran komunitas akan perwujudan sebuah pemerintahan yang baik (Good Governance).
Salah satu hal yang dapat dilihat adalah, dengan telah berjalannya hampir kurang lebih 3 tahun kebijakan otonomi daerah, melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dengan segala kelemahan dan kelebihannya (utamanya dalam tataran implementasi) merupakan sebuah kebijakan fundamental dalam berpemerintahan daerah di Indonesia .
Sebagai sebuah proses perubahan yang berkelanjutan, maka sistem pemerintahan daerah membutuhkan kemauan politik pemerintah --jika tidak berlebihan disebut keberanian politik-- untuk peka dan responsif terhadap apa yang akan dilakukan dan apa yang seharusnya dikerjakan secara normatif sebagai manifesto politik (Graem Hodge, 2001) dari implementasi sistem pemerintahan itu sendiri. Hal ini mengandung sebuah konsekuensi logis yang tidak dapat dipungkiri, sebuah kebijakan pelaksanaan sistem pemerintahan membutuhkan persiapan waktu, konsistensi dalam implementasi, penegakan aturan main yang jelas (law enforcement) dan kebijakan evaluasi yang optimal, jujur, transparan dan akuntabel. Kesemuanya semata-mata ditujukan bagi efektivititas pelaksanaan sistem pemerintahan daerah.

Dibandingkan dengan sistem pemerintahan daerah di beberapa negara yang menganut kebijakan otonomi wilayah (regional autonomy), baik di Eropa maupun negara Asia lainnya, di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda (budaya, penduduk, wilayah dan potensi) serta ragamnya kompleksitas permasalahan pembangunan yang dihadapi oleh setiap Pemerintah Daerah.
Yang terakhir ini (permasalahan pembangunan) memang cukup mencengangkan banyak pihak/kalangan luar negeri tentang berbagai kebijakan telah dan akan ditempuh.
Masalah pengembangan karier birokrat pemerintah misalnya, pendekatan yang dipakai pun jauh berbeda, tidak hanya sekadar merit system ataupun prestasi saja, tetapi juga termasuk persoalan psikologis dan budaya (primordial), atau bahkan kadangkala intervensi politik pun secara "tidak sengaja" menyusup ke dalamnya.
Mungkin hal tersebut tidak serta-merta disebut keliru, tetapi bisa jadi sebuah persoalan dihadapi ada kalanya membutuhkan pertimbangan (justifikasi) dari sisi - sisi yang lain. Namun demikian, apa pun perbedaan kondisi kebijakan birokrasi yang ada di setiap negara tidaklah mengurangi makna akan kepatuhan dan ketaatan kita terhadap sebuah sistem manajemen pemerintahan daerah yang telah disepakati bersama sebagai komitmen nasional guna menuju tatanan baru berpemerintahan.
Kepatuhan dan ketaatan terhadap komitmen (lokal maupun nasional) seringkali menjadi persoalan tersendiri di negeri ini.
Aturan dalam berpemerintahan daerah bukanlah sebuah dogma baku statis yang berlangsung dalam kurun waktu lama ataupun tanpa batas. Tetapi sebagai sebuah sistem manajemen dinamis yang memiliki kepekaan untuk berubah dalam proses yang berlangsung terus - menerus dan berkelanjutan, seiring perkembangan lingkungan strategis, baik lokal, nasional maupun global (Christina Backman, 2002).
Karenanya tidaklah berlebihan bila banyak kalangan pemerhati masalah pemerintahan mengatakan dalam setiap diskursus otonomi daerah, bahwa paradigma baru pemerintahan adalah sebuah paradigma yang terus berkembang, tidak kaku dan akomodatif terhadap peningkatan kinerja (performa) pelaku birokrasi pemerintahan, utamanya di daerah.
Beranjak dari pemikiran tersebut, boleh jadi pengembangan paradigma baru pemerintahan adalah sebuah kebutuhan yang seolah tanpa akhir berjalan ke depan menuju tatanan pemerintahan yang makin dan lebih baik. Harus diakui, ukuran keberhasilan dan kegagalan Iembaga pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya belum dilakukan secara optimal dan objektif.
Karena proses capaian kinerja lembaga pemerintah masih cenderung diukur pada ketaatan anggaran, sementara belum mencerminkan capaian manfaat (outcome) dan dampak (impact) secara lebih konkret.
Apabila dicermati maka persoalan pengembangan paradigma baru pemerintahan bersangkut paut dengan pengembangan kapasitas daerah , termasuk di dalamnya, Pertama, pengembangan kapasitas SDM aparatur pemerintah daerah (human resource development), masalah pengembangan kapasitas SDM aparatur di daerah seringkali tidak disadari telah terjebak dalam upaya peningkatan syarat akademik jenjang pendidikan pegawai dalam memenuhi kelengkapan administratif semata, tanpa mengedepankan kebutuhan, hasil dan manfaat personel terhadap unit kerja maupun pemerintah daerah itu sendiri.
Apabila hal tersebut terus-menerus terjadi bukan tidak mungkin upaya peningkatan SDM birokrasi sekadar "retorika administratif" semata.
Kedua, Pengembangan kelembagaan (institutional building). Dalam hal pengembangan kelembagaan daerah, penataan struktur organisasi diarahkan bagi peningkatan efektivitas roda pemerintahan yang makin produktif dan profesional. Karenanya pengembangan kelembagaan tidak sekadar memuat penataan organisasi, tetapi juga pemeranan lembaga (role of institution) yang akan disusun secara lebih cermat, jelas dan tidak tumpang tindih.
Persoalan ini makin strategis, karena keberadaan lembaga daerah sangat erat terhadap performa administrator daerah (kepala daerah) dalam memimpin wilayahnya sebagaimana tercermin dalam visi dan misi kepala daerah terpilih.
Ketiga, Peningkatan kinerja (performance improvement) birokrasi pemerintahan di daerah. Peningkatan kinerja birokrasi pemerintahan secara simultan mengiringi penataan kelembagaan dan peningkatan SDM birokrasi sebagai satu kesatuan "paket" kebijakan menuju pemerintahan yang baik. Kondisi performa birokrasi sekarang ini, memang masih menjadi bagian dari rentetan perjalanan "sejarah birokrasi" masa lalu dengan kompleksitas patologinya yang kuat mengakar.
Maka upaya pembenahan yang lebih cerdas, cermat dan penuh kearifan sangat diperlukan. Ketidakhati-hatian terhadap kebijakan pembenahan kinerja birokrasi dikhawatirkan akan menuai hasil terjadinya revolusi birokrasi yang justru merugikan. Dengan diterbitkannya kebijakan-kebijakan tentang peningkatan pelayanan publik oleh institusi pemerintah, secara tidak langsung akan memperbaiki performa birokrasi itu sendiri. Selain itu keberadaan standar kinerja instansi pemerintah menjadi kebutuhan mendesak untuk dipenuhi sebagai tetapan indikator capaian manfaat dan dampak kinerja lembaga birokrasi. (18)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar